Saya terlahir dari orang tua yang tidak mewariskan harta bagi anak- anaknya. Tidak ada tanah, rumah, uang ataupun surat berharga untuk dibagi. Hukum tentang waris pun tidak saya pahami dengan teliti, cukup dimengerti. Itu karena tidak pernah ada pembicaraan tentang pembagian harta untuk kami, anak- anak ibu dan ayah kami.
Ibu kami selalu mengatakan bukan harta yang ingin dia berikan untuk kami, melainkan ilmu dan kepandaian untuk menghadapi kehidupan di depan nanti. Untuk itu ibu kami bekerja membanting tulang pagi, siang sampai malam untuk mencukupi kebutuhan sekolah kami.
Itu membuat kami menjadi anak yang cukup mengerti. Kami sangat memahami apa artinya mencari sekolah yang tidak membutuhkan biaya besar. Saya dan adik sangat mengerti ibu kami menjadi satu- satunya penopang keluarga saat ayah kami terbaring sakit selama sekitar sepuluh tahun. Ibu kami lah yang membiayai kuliah kami. Tidak ingin saya menghakimi kebijakan ibu kami saat itu. Yang saya harus mengerti beliau berjuang sangat keras untuk sekolah kami.
Melihat ibu kami membanting tulang demikian, meminta uang untuk tinggal di kos saja saya tahu diri. Saya tidak berani memberi beban yang lebih lagi. Sepuluh tahun lamanya pula saya kuliah pulang pergi. Kepada teman saya berikan banyak alasan kenapa saya tidak pernah hidup di kos. Satu yang tidak pernah saya katakan adalah saya takut membebani.
Adik saya di Jakarta pun sama. Dia tidak pernah mengeluh dan meminta. Itulah yang membuat kami pikir dia baik- baik saja di sana. Sampai suatu hari dia bercerita. Sering dia menahan lapar karena uang tak ada. Sering dia makan sehari dua kali saja.
Itulah jalan kami menempa diri, bagaimana kami dilatih untuk menjadi kuat dan mandiri. Tidak pernah kami cengeng meminta yang kami tidak mampu. Pun mengharap pemberian orang setiap waktu. Kami kuat dengan cara kami sendiri.