Senin, 20 Agustus 2018

Menempa Diri

Saya terlahir dari orang tua yang tidak mewariskan harta bagi anak- anaknya. Tidak ada tanah, rumah, uang ataupun surat berharga untuk dibagi. Hukum tentang waris pun tidak saya pahami dengan teliti, cukup dimengerti. Itu karena tidak pernah ada pembicaraan tentang pembagian harta untuk kami, anak- anak ibu dan ayah kami.

Ibu kami selalu mengatakan bukan harta yang ingin dia berikan untuk kami, melainkan ilmu dan kepandaian untuk menghadapi kehidupan di depan nanti. Untuk itu ibu kami bekerja membanting tulang pagi, siang sampai malam untuk mencukupi kebutuhan sekolah kami.

Itu membuat kami menjadi anak yang cukup mengerti. Kami sangat memahami apa artinya mencari sekolah yang tidak membutuhkan biaya besar. Saya dan adik sangat mengerti ibu kami menjadi satu- satunya penopang keluarga saat ayah kami terbaring sakit selama sekitar sepuluh tahun. Ibu kami lah yang membiayai kuliah kami. Tidak ingin saya menghakimi kebijakan ibu kami saat itu. Yang saya harus mengerti beliau berjuang sangat keras untuk sekolah kami.

Melihat ibu kami membanting tulang demikian, meminta uang untuk tinggal di kos saja saya tahu diri. Saya tidak berani memberi beban yang lebih lagi. Sepuluh tahun lamanya pula saya kuliah pulang pergi. Kepada teman saya berikan banyak alasan kenapa saya tidak pernah hidup di kos. Satu yang tidak pernah saya katakan adalah saya takut membebani. 


Adik saya di Jakarta pun sama. Dia tidak pernah mengeluh dan meminta. Itulah yang membuat kami pikir dia baik- baik saja di sana. Sampai suatu hari dia bercerita. Sering dia menahan lapar karena uang tak ada. Sering dia makan sehari dua kali saja. 

Itulah jalan kami menempa diri, bagaimana kami dilatih untuk menjadi kuat dan mandiri. Tidak pernah kami cengeng meminta yang kami tidak mampu. Pun mengharap pemberian orang setiap waktu. Kami kuat dengan cara kami sendiri.

Rabu, 06 Maret 2013

calon anakku

nak,

Ibu hari ini mengetahui kau sudah berada di dalam rahim ibu. Senyum ibu tak pernah lepas, begitu juga ayahmu. Kami menantimu dengan harapan yang besar.

nak,
Jadilah anak yang selalu takut dengan Penciptamu, ceria seperti ayahmu, tapi jangan keras seperti ibumu. Tumbuhlah di rahim ibu dengan sehat sampai tiba saatnya kau bertemu kami sembilan bulan lagi.

nak,
Terima kasih untuk semua yang akan kau lakukan nanti. Kebahagiaan yang kau bawa dalam hari-hari kami.



Rabu, 05 Desember 2012

Berburu ayam

"Ke Mataram mau bulan madu ya?"

Kamis malam kami berangkat dengan bis yang, bagi saya yang bukan pecinta kendaraan darat ini, terasa cukup nyaman. Tidak seperti bis ke Surabaya yang membiarkan penumpangnya tidur tenang, pengendara bis ke Mataram ini menghibur kami dengan alunan musik era Dian Pishesha sepanjang malam. Jadilah perjalanan sejauh 420 km itu perjalanan paling berisik dalam hidup saya.Pil yang saya minum sebelum berangkat tidak cukup ampuh menulikan gendang telinga saya. 

"Honey, bangun."

Pagi masih sangat gelap waktu kami tiba di pelabuhan. Bis sudah masuk ke tempat parkirnya di lambung kapal. Bagi saya yang jarang melihat laut, kapal yang membawa kami menyeberang dari pulau Sumbawa ini terlihat cukup besar. Di atas kapal ada banyak orang yang terlihat mengantuk, beberapa di antaranya orang asing yang, menurut saya, adalah peselancar.
  
"Bukan. Mau cari ayam."


Tidak ada cottage mewah di tepian Senggigi. Yang ada kandang ayam dua tingkat di pinggir jalan Lombok Timur. Tidak ada mobil sejuk yang mengantar kami berkeliling melihat pulau Lombok. Yang ada motor yang kami bawa menyusuri jalan panas ke Pau Motong.     

Kamis, 22 November 2012

Jogjakarta

Di Jogja saya jatuh cinta, patah hati, lalu jatuh cinta lagi. Di Jogja juga saya jadi sarjana dan bekerja. Lebih dari sepuluh tahun sudah saya menyaksikan banyak peristiwa di Jogja, dari gempa sampai demo mahasiswa. Lebih dari sekian waktu juga saya belajar dengan orang-orang Jogja, dari pak parkir di Diponegoro sampai mbak Gudeg di Cik Di Tiro.

Sudah dua minggu saya tidak lagi merasakan macetnya jalan Solo, lamanya lampu merah Mirota
Banyak kali saya mengantar saudara dari stasiun Tugu. Juga menjemput mereka dari Adi Sucipto. Beberapa kali dari Giwangan. Kemarin saya yg diantar. Saya yg meninggalkan, bukan ditinggalkan.

"You don't know what you get till it's gone", katanya.  Saya tidak pernah merasa mencintai Jogja sampai saya jauh di seberang pulau. Omelan saat berdesakan di jalan Solo pagi saat berangkat ke kampus terasa lebih indah sekarang. Panasnya matahari Jogja tidak lagi terasa panas dibanding matahari di tempat saya sekarang. Ramahnya orang Jogja tidak lagi terasa.

Jogja, saya pasti kembali.

Jumat, 17 Agustus 2012

Upacara bendera

Dari barisan belakang yang terlihat hanya merah putih yg pelan-pelan naik ke puncak tiangnya. Yg terlintas di kepala saya bukan para pejuang yg membela bendera sampai ajalnya, atau ucapan merdeka yg diteriakkan 67 tahun lalu waktu proklamasi dibaca.

Bapak di depan saya tampaknya datang karena harus menulis nama di lembar yg dipegang temannya. Ibu di belakang saya mungkin datang karena ingin bertemu rekannya. Tapi mungkin mas yg tampak khidmat di depan sana datang karena ingin mengenang pejuan pendahulunya. Sementara saya datang lebih karena upacara bendera di halaman gedung yg megah dan indah ini merupakan satu rangkaian dari ritual "terakhir" saya. Upacara terakhir saya karena tahun- tahun berikutnya saya hanya akan bisa mengenang bediri di antara ratusan orang yg bangga bekerja untuk universitas ini.

"Maafkan saya, Indonesia."

Rabu, 15 Agustus 2012

si mbak pemulung di Kalasan

"Umurnya lima tahun, mbak", kata mbak yg namanya lupa saya tanyakan. Si mbak dan adek kecil lima tahun itu adalah pemungut sampah pinggir jalan yg sering saya temui saat pulang malam. Lebih dari lima kilometer tiap harinya mereka berjalan. Melihat si adek kecil, saya langsung teringat keponakan di rumah yg jam sekian sudah nyaman di kasurnya dengan botol susu di tangan.

Berbagai teori muncul di kepala saya. "Tega sekali mbak ini bawa anaknya mungut sampah malem-malem." Di detik lain, "Kasihan, mungkin ga ada orang yg jaga si adek makanya harus diajak." Mungkin juga " Suaminya si mbak yg nyuruh mereka jalan malem."

Ah...apapun teori saya, yg pasti tiap malam saya masih melihat mereka berjalan dengan karung dan topinya.
   


  

Hubby Jo

Satu orang ini membuat saya cemberut, marah-marah, menangis. Satu orang ini juga yang sering membuat saya harus tiba-tiba mengerutkan dahi berpikir keras mencari jawaban utk pertanyaan yang sering kali seperti terdengar seperti pertanyaan anak SD. 
"Honey, kenapa ya hujan ga turun deras sekalian, kenapa rintik-rintik tapi lama??" hahahahaha...maunya sih jawab "EGP, Hubby" 

Satu orang ini juga sering membuat gemas dengan kebiasaan lupanya yang luar biasa akut, kecerobohannya yang membuat kalang kabut. 

Satu orang ini juga membuat saya tersenyum lebar, tertawa lepas. Bisa juga membuat saya merasa cantik, pintar, dan berani.

Orang ini tidak lama lagi saya panggil "suami", dalam kesusahan dan kebahagiaan.